Pukul 11:30wita kami telah siap
melanjutkan perjalanan pulang, membawa semua kenangan kami selama berada di
Rinjani.
Kami Berlatarkan Danau Segara Anak
dan Gunung Baru
Perjalanan pulang kami dari Danau
Segara Anak menuju Plawangan Senaru didominasi hutan cemara gunung, namun
menurutku jalurnya memang benar-benar sadis. Kalau kebanyakan di gunung lain,
perjalanan pulang ya turun gunung. Di Rinjani berbeda, mau pulang saja kami
harus mendaki bukit bahkan bebatuan serta melipir tebing dan bukit lagi dengan
jurang disamping kanan atau kirinya. Tak jarang juga aku meminta istirahat
sekedar melepas dahaga.
Jalur Melipir Bukit Menuju
Plawangan Senaru
Kami Beristirahat Sejenak Melepas
Lelah
Kami berempat selalu saling
menyemangati dengan kalimat “Ayo cepetan sampe Plawangan Senaru, nanti disana
kita buka Nata de Coco!” Walau sudah berjam-jam kami mendaki, Danau Segara Anak
masih terlihat jelas dari pandangan kami.
Melewati Jalur Bekas Longsoran
Bebatuan
Puncak Plawangan Senaru sudah terlihat
diatas kami, ya benar-benar tegak diatas kepala kami. Walaupun sudah terlihat,
jalur menuju kesana masih agak jauh memutar bukit dan melipir tebing. Diujung
jalur menuju Plawangan Senaru aku sedikit kesulitan, karena medannya berupa
bebatuan tinggi yang tegaknya hampir 90o. Mengharuskan kami untuk
memanjat bebatuan tersebut dengan konsentrasi penuh karena dibawah bebatuan itu
merupakan jurang.
Pukul 15:00wita kami tiba di Plawangan
Senaru, Nata de Coco pun kami habiskan disana. Kami menyebutnya “Nata de Coco
Celebration”.
Nata de Coco Celebration
Plawangan Senaru merupakan camp area
bagi pendaki yang naik lewat Jalur Senaru sebelum akhirnya menuju Danau Segara
Anak, biasanya jalur naik lewat Senaru didominasi oleh turis mancanegara
dibandingkan dengan turis lokal. Dari Plawangan Senaru selain pemandangan Danau
Segara Anak yang indah, pun terkenal dengan pemandangan sunsetnya, namun hari
itu kami tidak bisa menikmatinya. Karena kami tidak mau lebih malam lagi sampai
di RTC Senaru.
View Danau Segara Anak dari
Plawangan Senaru
Pukul 16:00wita kami melanjutkan
perjalanan menuju RTC Senaru, melalui sedikit jalur berbatu setelah itu
didominasi jalur tanah, namun kali ini jalur sudah benar-benar turun. Sedikit
hambatan lagi untukku, nyeri di lutut kiri ku kambuh dan membuat langkahku
melambat. Beruntung karena Aryo meminjamkan deker lututnya untukku dan memang
sangat membantu meringankan rasa sakit dilututku. Di pos tiga kami beristirahat
sejenak, sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Hari sudah gelap, kami mulai memasuki
hutan hujan dimana menjulang tinggi pepohonan rindang yang sepertinya jika
siang matahari pun tak dapat menembus rindangnya. Trek tanah yang kami lewati
basah seperti sehabis diguyur hujan, yang tak jarang membuat kami terpeleset.
Di sepanjang jalurpun sering kami temui pacet.
Trek malam itu sedikit memaksaku untuk
berjalan cepat, suasana memang sangat mencekam, akupun diliputi rasa takut. Tak
jarang Bang Eday mengingatkan kami untuk terus berdoa dalam hati meminta
perlindungan kepada Sang Maha Pencipta. Rasa sakit dilutut kembali menyerang
dan tak boleh kurasa, karena itu hanya membuat tempo berjalanku kembali
melambat. Dipikiranku hanya cepat sampai di RTC Senaru sebelum hari lebih malam
lagi. Disetiap pos kami hanya beristirahat tak lebih dari lima menit, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan.
Jebag Gawah, Pintu Senaru
Pukul 21:00wita, kami tiba di Jebag
Gawah yang merupakan Pintu Gerbang Senaru. Disana terdapat sebuah warung kecil
dan rumah panggung, dirumah panggung itu aku langsung melepas lelah, melepas
beban carrier di pundak. Karena perjalanan ke RTC Senaru masih ada 1,5 km lagi.
Bang Eday menghampiriku sambil membawa senampan pisang goreng dari warung itu,
dari Segara Anak aku memang ingin makan pisang goreng. Aku sangat senang karena
akhirnya bisa bertemu pisang goreng. Tak berapa lama setelah makan pisang
goreng, aku kembali merebahkan badan dirumah panggung itu, rasa kantuk yang
sudah menghampiriku selama trekking membuatku langsung terlelap. Entah berapa
lama aku tertidur, sampai akhirnya aku dibangunkan untuk kembali melanjutkan
perjalanan ke RTC Senaru.
Kami melewati perkebunan warga, namun
tempo berjalan Bang Eday dan Bang Sandy masih saja cepat. Aku dan Aryo
tertinggal sedikit dibelakang, karena lututku sudah tidak lagi bersahabat.
Sakit dilutut makin menjadi-jadi, sering aku meminta mereka memperlambat tempo
berjalannya. Sekitar pukul 23:00wita baru kami tiba di RTC Senaru. Karena sudah
tidak ada kendaraan menuju Mataram, kami memutuskan untuk beristirahat di Pos
RTC Senaru. Pos yang terbuat dari bambu itupun sangat nyaman untuk kami
beristirahat walaupun berada diluar tanpa ada penghalang, tak sedikitpun dingin
yang terasa. Petualangan kami di Rinjani telah selesai, malam itu kamipun
terlelap dalam mimpi masing-masing.
Buatku, Rinjani mengajarkanku betapa
perlunya do’a dan ikhtiar untuk menggapai sebuah keindahan, perjuangan
menaklukan ego pada diri sendiri just like Sir Edmund Hillary said, “It’s not the mountain we conquer, but
ourselves”, belajar untuk tetap bersabar agar tetap bisa berdiri dan
bertahan meski terjatuh, belajar menjadi lebih bersyukur kepada Sang Maha
Pencipta atas keindahan dan nikmat yang telah kudapat. Terima kasih Tuhan!
Dipendakian ini, mungkin aku yang
paling beruntung, aku diantara teman-teman yang super hebat. Mereka tak pernah
lelah memberikan semangatnya untukku, mereka tak pernah marah menghadapi
tingkahku walaupun membuat mereka kesal, mereka ajariku banyak hal tentang arti
kebersamaan dan arti kekeluargaan. Terima kasih Bang Eday, Bang Sandy, Aryo,
Bang Hendrik, dan Mba Dian. Terima kasih Sahabat Ilalang!
Tak ada kuas dan kanvas yang mampu
menggambarkan lukisan alam dari Sang Maha Pencipta, tiada kata yang pantas
menceritakan keindahannya. Datang, rasakan, dan lihat sendiri betapa indahnya
bentangan alam yang telah Tuhan beri kepada kami, kawan!
***
kok acara ketinggalan pesawatnya ga di jabarin? bakakkka
BalasHapuserrrr itukan cerita di Bali kak, bukan pas di Lombok hahah
BalasHapus