Senin, 27 Mei 2013

My Adventures (Part V): Bye Rinjani! We’re Back Home, Bringing The Memories


 Pukul 11:30wita kami telah siap melanjutkan perjalanan pulang, membawa semua kenangan kami selama berada di Rinjani.

Kami Berlatarkan Danau Segara Anak dan Gunung Baru

Perjalanan pulang kami dari Danau Segara Anak menuju Plawangan Senaru didominasi hutan cemara gunung, namun menurutku jalurnya memang benar-benar sadis. Kalau kebanyakan di gunung lain, perjalanan pulang ya turun gunung. Di Rinjani berbeda, mau pulang saja kami harus mendaki bukit bahkan bebatuan serta melipir tebing dan bukit lagi dengan jurang disamping kanan atau kirinya. Tak jarang juga aku meminta istirahat sekedar melepas dahaga.


 Jalur Melipir Bukit Menuju Plawangan Senaru

Kami Beristirahat Sejenak Melepas Lelah

Kami berempat selalu saling menyemangati dengan kalimat “Ayo cepetan sampe Plawangan Senaru, nanti disana kita buka Nata de Coco!” Walau sudah berjam-jam kami mendaki, Danau Segara Anak masih terlihat jelas dari pandangan kami.

Melewati Jalur Bekas Longsoran Bebatuan

Puncak Plawangan Senaru sudah terlihat diatas kami, ya benar-benar tegak diatas kepala kami. Walaupun sudah terlihat, jalur menuju kesana masih agak jauh memutar bukit dan melipir tebing. Diujung jalur menuju Plawangan Senaru aku sedikit kesulitan, karena medannya berupa bebatuan tinggi yang tegaknya hampir 90o. Mengharuskan kami untuk memanjat bebatuan tersebut dengan konsentrasi penuh karena dibawah bebatuan itu merupakan jurang.
Pukul 15:00wita kami tiba di Plawangan Senaru, Nata de Coco pun kami habiskan disana. Kami menyebutnya “Nata de Coco Celebration”.

Nata de Coco Celebration

Plawangan Senaru merupakan camp area bagi pendaki yang naik lewat Jalur Senaru sebelum akhirnya menuju Danau Segara Anak, biasanya jalur naik lewat Senaru didominasi oleh turis mancanegara dibandingkan dengan turis lokal. Dari Plawangan Senaru selain pemandangan Danau Segara Anak yang indah, pun terkenal dengan pemandangan sunsetnya, namun hari itu kami tidak bisa menikmatinya. Karena kami tidak mau lebih malam lagi sampai di RTC Senaru.

View Danau Segara Anak dari Plawangan Senaru

Pukul 16:00wita kami melanjutkan perjalanan menuju RTC Senaru, melalui sedikit jalur berbatu setelah itu didominasi jalur tanah, namun kali ini jalur sudah benar-benar turun. Sedikit hambatan lagi untukku, nyeri di lutut kiri ku kambuh dan membuat langkahku melambat. Beruntung karena Aryo meminjamkan deker lututnya untukku dan memang sangat membantu meringankan rasa sakit dilututku. Di pos tiga kami beristirahat sejenak, sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Hari sudah gelap, kami mulai memasuki hutan hujan dimana menjulang tinggi pepohonan rindang yang sepertinya jika siang matahari pun tak dapat menembus rindangnya. Trek tanah yang kami lewati basah seperti sehabis diguyur hujan, yang tak jarang membuat kami terpeleset. Di sepanjang jalurpun sering kami temui pacet.
Trek malam itu sedikit memaksaku untuk berjalan cepat, suasana memang sangat mencekam, akupun diliputi rasa takut. Tak jarang Bang Eday mengingatkan kami untuk terus berdoa dalam hati meminta perlindungan kepada Sang Maha Pencipta. Rasa sakit dilutut kembali menyerang dan tak boleh kurasa, karena itu hanya membuat tempo berjalanku kembali melambat. Dipikiranku hanya cepat sampai di RTC Senaru sebelum hari lebih malam lagi. Disetiap pos kami hanya beristirahat tak lebih dari lima menit, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

Jebag Gawah, Pintu Senaru

Pukul 21:00wita, kami tiba di Jebag Gawah yang merupakan Pintu Gerbang Senaru. Disana terdapat sebuah warung kecil dan rumah panggung, dirumah panggung itu aku langsung melepas lelah, melepas beban carrier di pundak. Karena perjalanan ke RTC Senaru masih ada 1,5 km lagi. Bang Eday menghampiriku sambil membawa senampan pisang goreng dari warung itu, dari Segara Anak aku memang ingin makan pisang goreng. Aku sangat senang karena akhirnya bisa bertemu pisang goreng. Tak berapa lama setelah makan pisang goreng, aku kembali merebahkan badan dirumah panggung itu, rasa kantuk yang sudah menghampiriku selama trekking membuatku langsung terlelap. Entah berapa lama aku tertidur, sampai akhirnya aku dibangunkan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke RTC Senaru.
Kami melewati perkebunan warga, namun tempo berjalan Bang Eday dan Bang Sandy masih saja cepat. Aku dan Aryo tertinggal sedikit dibelakang, karena lututku sudah tidak lagi bersahabat. Sakit dilutut makin menjadi-jadi, sering aku meminta mereka memperlambat tempo berjalannya. Sekitar pukul 23:00wita baru kami tiba di RTC Senaru. Karena sudah tidak ada kendaraan menuju Mataram, kami memutuskan untuk beristirahat di Pos RTC Senaru. Pos yang terbuat dari bambu itupun sangat nyaman untuk kami beristirahat walaupun berada diluar tanpa ada penghalang, tak sedikitpun dingin yang terasa. Petualangan kami di Rinjani telah selesai, malam itu kamipun terlelap dalam mimpi masing-masing.

Buatku, Rinjani mengajarkanku betapa perlunya do’a dan ikhtiar untuk menggapai sebuah keindahan, perjuangan menaklukan ego pada diri sendiri just like Sir Edmund Hillary said, “It’s not the mountain we conquer, but ourselves”, belajar untuk tetap bersabar agar tetap bisa berdiri dan bertahan meski terjatuh, belajar menjadi lebih bersyukur kepada Sang Maha Pencipta atas keindahan dan nikmat yang telah kudapat. Terima kasih Tuhan!

Dipendakian ini, mungkin aku yang paling beruntung, aku diantara teman-teman yang super hebat. Mereka tak pernah lelah memberikan semangatnya untukku, mereka tak pernah marah menghadapi tingkahku walaupun membuat mereka kesal, mereka ajariku banyak hal tentang arti kebersamaan dan arti kekeluargaan. Terima kasih Bang Eday, Bang Sandy, Aryo, Bang Hendrik, dan Mba Dian. Terima kasih Sahabat Ilalang!


Tak ada kuas dan kanvas yang mampu menggambarkan lukisan alam dari Sang Maha Pencipta, tiada kata yang pantas menceritakan keindahannya. Datang, rasakan, dan lihat sendiri betapa indahnya bentangan alam yang telah Tuhan beri kepada kami, kawan!




***

My Adventures (Part IV): Segara Anak, We’re Coming!


Semua telah rapi, sekitar pukul 16:00wita kami melanjutkan perjalanan ke Danau Segara Anak. Jalur dari Plawangan Sembalun Menuju Segara Anak bisa dibilang tidak mudah, diawal trek kami harus menuruni bukit terjal dengan medan yang berbatu, melipir tebing yang lebarnya tak lebih dari satu meter dengan sebelah kiri atau kanan jurang . Menjelang maghrib kami memutuskan beristirahat.

Gelap sangat cepat menyapa, kami segera melanjutkan perjalanan. Trek sudah tak terjal dan berbatu, yang kami lewati berubah menjadi landai melipir bukit. Jalur menuju Danau Segara Anak ini terdapat beberapa cabang ke jalur torean dan goa susu. Posisi kami sudah dibawah, diantara berbukit-bukit yang mengelilingi, malam itu pun terasa sangat pekat. Tak seorangpun pendaki lain ataupun porter yang kami temukan disepanjang perjalanan, karena memang hampir semua porter menghindari trek malam dijalur Plawangan Sembalun sampai Danau Segara Anak. Formasi kami selama trekking yaitu Bang Eday, Aku, Aryo, Bang Hendrik, Mba Dian, dan Bang Sandy. Perjalanan kami malam ini bisa dibilang dengan tenaga ekstra, atau malah kami mendapatkan energi tambahan entah dari mana. Kami berjalan sangat cepat, hanya sesekali beristirahat. Tak banyak kata yang terucap, karena kami lebih memilih terus berdoa dalam hati dan fokus dengan jalur.

Setelah melewati sedikit hutan pinus, pukul 21:00wita seperti yang sudah Bang Eday perkirakan, akhirnya kami tiba di Danau Segara Anak. Sudah banyak tenda yang berdiri disana, malam itu memang sangat ramai. Kami memilih membuka tenda didekat tepian Danau Segara Anak, yang baru berdiri tiga tenda disana. Tak lama tenda kami berdiri, makan malampun sudah siap karena kami memang berbagi tugas. Setelah makan malam dan minum obat, aku lebih memilih beristirahat karena badanku masih dalam kondisi yang kurang fit. Mba Dian dan Bang Hendrik pun beristirahat ditenda yang berbeda, karena esok mereka melanjutkan perjalanan ke Senaru. Sedangkan Bang Eday, Bang Sandy, dan Aryo memilih untuk mancing di Danau Segara Anak.


08 Mei 2013
  
Suasana Pagi Danau Segara Anak

Pagi itu terasa sangat indah, buka tenda disambut pemandangan pagi Danau Segara Anak. Ternyata Bang Eday dan Bang Sandy sudah mejeng dengan jorannya didepan Danau Segara Anak, aku segera menyusul mereka untuk memancing. Umpan yang kami pakai yaitu biskuit energi yang aku bawa, karena kami lupa membeli sosis waktu masih di Mataram. Aku juga ingin mencoba peruntungan memancing, akhirnya Bang eday membuatkan aku pancingan dari batang pohon lengkap dengan senar dan kail pancingnya. Aku minta umpannya ke Bang Sandy, aku lempar kail pancingnya ke danau, aku angkat pancingannya, umpan habis  tapi tak ada ikan yang kudapat. Lama-lama bosan juga, aku hentikan memancingnya.

Memancing di Danau Segara Anak

Dipinggir danau kulihat ada bekas pembunuhan ikan entah oleh siapa, tersisa insang, sisik, dan usus-usus ikan yang terbuyar. Sambil menunggu Bang Sandy memancing dan baru mendapatkan beberapa ikan, aku iseng melempar insang ikan tadi ke danau. Ternyata banyak kerumunan ikan menghampiri insang itu dan memakannya. Aku langsung mengambil pancingan dadakanku, diam-diam kuganti umpannya dengan potongan usus ikan. Dan usahaku berhasil, ikan-ikan menghampiri kail pancingku, hanya beberapa menit aku mendapatkan banyak ikan. Kalau orang bilang “mancing itu gimana suasana hati, kalo lagi bahagia ya banyak ikan yang didapat”. Suasana hatiku memang bahagia, 3726mdpl tercapai, cuaca cerah, danau sagara anak indah, yang terutama aku berada diantara teman-teman yang SUPER!

Ty, seneng banget ya? Ikan banyak amat yang nyangkut” seru Bang Eday kepadaku.
Hahahahaha yoih, harus seneng Bang! Tapi ini asli gue emang seneng banget!” jawabku.

Ikan Hasil Pancingan Kami

Memancing diiringi alunan lagu yang sedang dinyanyikan pendaki-pendaki dari Universitas Mataram, menambah indah suasana.

“Di Rinjani, aku menunggumu. Temukan aku dalam dekapanmu.”

Hanya lirik lagu itu yang kuingat, sambil memancing terkadang akupun ikut bernyanyi bersama mereka.

Sudah merasa bosan memancing, aku lantas membersihkan ikan-ikan yang tadi didapat untuk makan siang kami, menu siang ini memang tak banyak hanya nasi dan ikan goreng. Tapi tetap terasa sangat nikmat, makan ikan hasil pancingan sendiri dengan pemandangan langsung Danau Segara Anak.

Menu Makan Siang Kami: Nasi dan Ikan Goreng

Pukul 14:00wita, Bang Hendrik dan Mba Dian pamit untuk duluan turun ke Plawangan Senaru. Sedangkan aku, Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy baru akan turun keesokannya. Menjelang sore kami berempat berencana ke sumber air panas yang ada di bawah bukit dekat Danau Segara Anak. Rinjani itu seperti semuanya ada disana, air terjun, air panas, pemandangan indah, ikan pun melimpah.
Jalur menuju sumber air panas tidak jauh dan tidak sulit, hanya sedikit melipir bukit. Sekitar 10 menit kami sampai di air terjun, pemandangannya pun tak kalah indah.


Air Terjun di Gunung Rinjani

Bang Sandy, Aku, dan Aryo

Di sumber air panas aku hanya merendam kaki yang pegal dan bengkak karena terlalu banyak jalan, sedangkan Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy merendam badan sekaligus mandi.

Berendam di Sumber Air Panas

Sekitar dua jam kami berada di air panas, kami segera bergegas kembali ke danau dan lanjut memancing untuk makan malam kami. Aryo dan Bang Sandy asik memancing, sedangkan aku mempersiapkan logistik yang akan dimasak.

Bang Sandy dan Aryo dengan Pancingan Mereka

Hari mulai gelap, ikan yang didapat tak terlalu banyak. Akhirnya Bang Eday memutuskan untuk membeli ikan dari warga sekitar yang memang sengaja menjual hasil pancingan mereka. Malam itu aku dan Bang Sandy memasak menu nasi, ikan pesmol, dan cah kangkung. Sedangkan Aryo dan Bang Eday membuat ikan bakar bumbu kacang.

Aku dan Bang Sandy Sedang Memasak

Bang Eday dan Aryo Sedang Membakar Ikan

Sesuatu yang tidak biasa, di gunung kami ada menu ikan pesmol dan ikan bakar. Dengan suasana memasak masih dipinggir Danau Segara Anak, malam itu begitu hangat. Suasana malam itu memang tak seramai ketika kami baru tiba di Segara Anak, hanya ada sekitar 4 tenda yang berdiri. Karena kebanyakan pendaki sudah turun ke Senaru tadi pagi.
Pukul 20:00wita, masakan kami telah siap untuk disantap. Namun tak lupa kami berdoa dan mengucap syukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan kepada kami.

Menu Makan Malam Kami:
Nasi, Ikan Bakar, Ikan Pesmol, Cah Kangkung, Sambal Kacang, dan Sambal Pecak

Tetap Gaya Sebelum Makan

Terasa sangat nikmat makan malam kali ini, menu sederhana tapi mungkin itu menu terenak yang pernah kami santap. Kami makan dengan sangat lahap, hanya ada dua kata yang sering kami ucapkan antara “enak dan enaaaak bangeeettt”. Selesai makan malam, kami membereskan dan mencuci peralatan-peralatan kotor sehabis memasak tadi. Setelah semuanya bersih, kami berempat duduk diatas matras berbincang, bercanda tawa ditemani pemandangan langit malam dan Danau Segara Anak. Tak terasa waktu menunjukkan jam 23:30wita, kami bergegas masuk kedalam tenda untuk beristirahat. Malam ini kami bergabung disatu tenda, Aku, Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy.
Selamat beristirahat, kawan.


09 Mei 2013
Masih suasana pagi di Danau Segara Anak, namun hari ini kami harus meninggalkan segala keindahannya. Karena kami akan turun ke RTC Senaru. Pagi-pagi Bang Eday dan Aryo sudah pergi kesumber air untuk  mengisi persediaan air kami. Aku memasak nasi dan beberapa logistik untuk sarapan kami. Bang Sandy memasak air di kayu bakar karena persediaan gas kami hanya cukup untuk memasak nasi. Beruntung ada Mas Tri (B-Summiter) yang berencana turun juga pagi ini masih mempunyai sisa gas yang lumayan banyak, Aryo memberanikan diri meminta sisa gasnya. Akhirnya kami diberi 2 kaleng gas untuk memasak.  Sarapan kami pagi ini dengan menu nasi, sayur sop, dan telur dadar. Pagi ini memang lebih tergesa-gesa, karena paling lambat kami harus memulai perjalanan pulang jam 11:00wita. Setelah selesai sarapan kami segera berkemas.

My Adventures (Part III): Rinjani Dihati, Dekat Dimata Jauh Dikaki


Diawal perjalanan Bang Eday berpesan kalau kami harus berjalan beriringan dan bersama, diusahakan tidak terpisah jauh. Formasi kami saat berjalan Bang Eday, Aryo, Aku, Mba Dian, Bang Hendrik, dan Bang Sandy. Permulaan trek menuju puncak tak jauh dari tempat camp kami, masih didominasi trek tanah dan sedikit agak berpasir. Sekitar setengah jam berjalan, kami dihadapkan trek berpasir yang tak jarang membuat kami menepi untuk beristirahat. Sisa sakit perutku semalam ternyata belum juga hilang, diawal trek aku sudah muntah-muntah, rasa mual karena masuk angin sangat mengganggu dari awal perjalananku.

Perjalanan kami disaksikan bulan dan ribuan bintang yang bertaburan, malam itu cuaca memang sangat cerah. Tak jarang kami menyaksikan bintang jatuh dan aku selalu spontan memohon sebuah permintaan. Berjam-jam kami berjalan, berkali-kali kami harus istirahat karena berkali-kali juga aku muntah-muntah. Akhirnya formasi terpecah menjadi dua: Aryo, Bang Hendrik, dan Mba Dian sudah jauh didepan kami. Sedangkan aku ditemani Bang Eday dan Bang Sandy. 

Beristirahat Sejenak di Tengah Trek Berpasir

Langit mulai membiaskan warna merah ke orange, matahari akan muncul menyapa namun perjalanan kami baru setengahnya menuju puncak. Sunrise tak dapat kami nikmati dipuncak, namun saat itu Bang Eday menegarkan “Ga usah kejar sunrise dipuncak, di balik batu punggungan itu juga bagus, ayo cepet kita sampai situ”. Seketika itu kakiku terasa bersemangat untuk sampai dipunggungan gunung. Sunrise pagi itu memang sangat indah walaupun kami belum sampai dipuncak.

View Sunrise dari Punggungan Gunung Rinjani

Bang Eday mengajak aku dan Bang Sandy untuk melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin terang dan jalur pun semakin terlihat yang efeknya bisa membuat ciut nyali karena perjalanan kami pun masih panjang. Sepertinya tanjakan di Bukit Penyesalan sebelum Plawangan Sembalun belum ada apa-apanya dibanding dengan tanjakan yang akan kami lewati. Trek yang kami lalui menuju ke puncak didominasi oleh pasir, kerikil, dan tidak ada vegetasi dengan kemiringan punggungan sekitar 60o. Trek berpasir memang menyulitkan langkah, tak jarang pasir yang kami pijak longsor dan kami merosot turun.

Matahari mulai bersinar cerah, puncak sudah terlihat didepan mata namun jalur yang kulewati terasa sangat berat. Ditambah kondisiku yang kurang fit, sudah sembilan kali aku muntah selama diperjalanan, badan terasa sangat lemas. Kulihat keatas, rasanya malas untuk melanjutkan perjalanan. Namun Bang Eday dan Bang Sandy sangat sabar menemani dan tak henti memberikan semangat untukku.

Saat Menahan Rasa Sakit di Perutku

Sakit perutku memang sangat mengganggu, setiap kumat aku harus duduk tersungkur merasakan sakitnya. Sampai tiba saat dimana hampir habis semangatku untuk melanjutkan perjalanan, aku menangis tersedu-sedu. Bang Eday dan Bang Sandy terlihat kebingungan sambil tertawa melihat ku menangis.

Bang Eday Saat Memberikan Semangat Kepadaku

Gue ga mau naik gunung lagi bang” teriakku sambil menangis


Bisa Ty, Tya pasti bisa. Atau mau turun lagi? Gue kan udah pernah kesini Ty, lo mau turun apa lanjutin keatas? Kalo mau turun, gue anterin. Biar Bang Golok keatas sendiri” ucap Bang Eday kepadaku.

Ditanya seperti itu membuatku semakin keras menangis, “kalo gue turun lagi, sama begonya kaya pas di semeru!” jawabku.

Tuh Ty liat! Hendrik, Dian, Aryo udah sampe di puncak. Ayo sebentar lagi, Tya pasti bisa! Gue yakin kita bisa muncak semua. Udah ga apa-apa, yang sabar aja sakitnya jangan dirasa.” Seru Bang Eday dan Bang Sandy memberi semangat kepadaku.

Tya mau keatas ga?” terdengar teriakan dari arah puncak, entah siapa yang berteriak.

Seketika aku menoleh melihat ke sumber suara, lalu menunduk lagi. Aku merasa seperti tak berdaya, aku kesal karena semangat dan mentalku terseok-seok. Kupasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta, aku berdoa memohon agar semangatku bangkit dan tak mengecewakan teman-temanku. Memohon agar sepanjang perjalanan kami dilindungi. Didalam doa, terlintas bayangan Mama saat itu, karena aku memang sedang merindukannya. Pikirku, perjalananku sudah jauh sampai disini, aku tak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah beliau berikan kepadaku terlebih teman-teman seperjalananku tak henti memberikanku semangat. Walau ku tau, sebenarnya mereka lelah dan kesal menghadapi ulahku. Saat itu juga semangatku bangkit, aku yakin aku bisa!

Seketika itu juga aku berdiri dan berteriak “IYA GUE KEATAS, TUNGGU DISITU! Ayo bang, kita lanjut jalan. Semangat!

Terlihat raut wajah senang dari Bang Eday dan Bang Sandy mendengar apa yang aku ucapkan. “gitu dooong, ini baru Tya” seru Bang Eday sambil menepuk bahuku.

 Tya sama Bang Eday ya, gue tahan mereka (Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik) supaya ga turun dulu.” Ucap Bang Sandy, karena memang Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik sudah berada lama di puncak. Namun ternyata Bang Hendrik dan Mba Dian memutuskan untuk turun terlebih dahulu, Aryo tetap menunggu di puncak.

Melanjutkan perjalanan dengan langkah 10:1  dan lama-lama 15:1 serta sisa-sisa semangat yang ada walaupun terasa berat, tapi aku yakin akan menjejakkan sepatu di 3726mdpl. Berpapasan dengan Bang Hendrik dan Mba Dian yang akan turun, merekapun turut menyemangatiku.

Sakit perut masih menghampiriku disisa perjalananku, itu artinya aku harus duduk dan menahan sakitnya. Hari semakin siang, panas terik matahari membakar kulit dan membakar semangatku kembali untuk sampai di 3726mdpl. Dengan perjuangan dan semangat ekstra akhirnya aku dan Bang Eday tiba diujung trek menuju puncak dimana ada beberapa tebing yang lumayan teduh, disana sudah ada Aryo, Bang Sandy, dan beberapa pendaki lain yang akan turun.

Aku, Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy melanjutkan sedikit lagi sisa perjalanan ke puncak. Dan sekitar pukul 09:30wita akhirnya kami tiba diketinggian 3726mdpl. Sudah ada beberapa pendaki yang lebih dulu tiba disana, seperti disambut aku diberi ucapan selamat oleh mereka. “Saya liat tadi dijalur mbak nangis-nangis ya? Teman-teman mbak itu hebat, sabar. Tapi mbak yang lebih hebat, ga menyia-nyiakan kepercayaan teman-teman mbak, kalo mbak bisa sampai disini. Silahkan sujud syukur dulu”. Sangat terharu aku mendengar apa yang Bapak pendaki itu ucapkan kepadaku. Sujud syukurku karena kami tiba dipuncak gunung api tertinggi kedua di Indonesia. Rasa haru dan bahagia tak terkira yang aku rasakan, akhirnya perjuanganku dan teman-temanku tak sia-sia. Aku peluk mereka satu persatu, tak lupa kuucapkan terima kasih.

 Finally, 3726mdpl! (Bang Sandy, Bang Eday, Aku, dan Aryo)

 For Ladang Ilalang

 We are The Campion, My Friends!

 Just for My Mom

 Happy Birthday Papa

Ku pandangi sekeliling dari ketinggian 3726mdpl, terlihat semua sisi pulau lombok, Gunung Agung dan Batur di Bali, dan Tambora di Sumbawa. Subhanallah Rinjani begitu indah! Kumpulan awan terhias indah diatas perbukitan yang mengelilingi Danau Segara Anak. Begitu indah ciptaan-Mu Tuhan! Kau berikan kami cuaca yang sangat bersahabat setelah selama dua hari diterpa badai, Kau berikan aku teman-teman yang sabar, Kau berikan kami kebahagian.

“Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan..” maka, nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan”.

View Danau Segara Anak dari Ketinggian 3726mdpl

Sekitar satu jam kami berada dipuncak, menikmati keindahan dari Sang Maha Pencipta. Keindahan yang tak ternilai harganya. Rasanya masih ingin lama disini, namun kami harus segera turun karena hari sudah sangat siang terlebih kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau Segara Anak hari itu juga.

Perjalanan Turun

Perjalanan turun pasti lebih mudah jika telah menemukan irama antara sepatu dan pijakan di jalur berpasir, tinggal meluncur namun harus tetap berhati-hati karena jalur di Rinjani tidak terlalu lebar dengan jurang dikanan kirinya. Walaupun terlihat mudah, tetap saja aku terpeleset dan terjatuh namun aku masih bisa bangkit dan tau arah jalan pulang. Trek berdebu lumayan mengganggu pandangan dan pernafasan. Aryo dan Bang Sandy sudah jauh didepanku dan Bang Eday, aku melangkah turun perlahan karena takut rem disepatuku blong.

Terik matahari siang ini sangat menyengat membakar kulit serta mengeringkan tenggorokan, sakit perutku pun masih setia menganggu disepanjang perjalanan turun. Akupun masih harus menahan rasa sakit perutku, tak jarang aku dan Bang Eday berhenti sebentar sambil beristirahat.

Tertidur disela-sela istirahatku

Jalur Rinjani siang itu sunyi tidak seramai pagi, kadang hanya suara hembusan angin yang terdengar. Bagaimana tidak ternyata aku dan Bang Eday turun paling terakhir, dibelakang kami sudah tidak ada rombongan pendaki lain. Sekitar pukul 14:30wita kami tiba di camp area Plawangan Sembalun, sudah ada Aryo, Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang sedang packing. Aku dan Bang Eday pun segera berkemas.

My Adventures (Part II): Rinjani for Ladang Ilalang


05 Mei 2013
Pukul 06:00wita aku telah terbangun, bergegas mandi dan packing ulang sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Sembalun sambil menunggu Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang mengabarkan kepada kami kalau mereka sudah tiba di Pelabuhan Lembar dan telah dijemput oleh Pak Nasir (Supir Elf yang menjemput aku dan Aryo dari BIL ke penginapan). Sekitar pukul 07:00wita mereka telah tiba dipenginapan kami, untuk sarapan dan sekedar beristirahat sebentar.

Sekitar satu jam mereka beristirahat, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pasar Aikmal. Tiga jam waktu yang kami tempuh untuk tiba di Pasar Aikmal, dan kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan mobil Pick-up menuju Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani di  Desa Sembalun. Kami tak hanya berenam, karena kami bareng dengan penduduk sekitar yang ingin pergi keacara pernikahan saudaranya di Desa Sembalun. Mereka bilang “Kami disini persaudaraan tak boleh putus, kalau ada acara seperti ini kami harus datang”. Banyak berbagi cerita dengan penduduk sekitar, kami diberi perbekalan sekedar cemilan yang biasa mereka sebut “kacang sembunyi”

 Perjalanan Kami Menuju Desa Sembalun

 Kacang Sembunyi

Sepanjang perjalanan, kami sudah disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Perbukitan disekitar Gunung Rinjani berdiri kokoh dan terkadang terlihat Puncak Sang Dewi. Sebelum mengurus perizinan, kami sengaja mampir di pasar dekat Desa Sembalun untuk melengkapi kebutuhan logistik kami selama digunung. Seperti membeli sayuran, cabai, bawang, dan telur.

Hampir dua jam perjalanan akhirnya kami tiba di Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani dan segera mengurus perizinan. Masing-masing dari kami diberi tanda masuk (Rinjani Trek Entry Ticket), untuk  digantung di carrier kami. Turis lokal dikenakan tarif sebesar Rp. 10.000,- sedangkan untuk turis mancanegara sebesar Rp. 150.000,-. Setelah mengurus perizinan, kami share logistik yang telah kami beli di Pasar Sembalun dan packing ulang.

Rinjani Entry Ticket 
Repack Sesaat Sebelum Memulai Perjalanan

Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00wita kami segera memulai perjalanan dengan diawali doa, tak lupa kami meminta doa kepada keluarga dan sahabat-sahabat ilalang agar perjalanan kami lancar.

Trek awal kami menyusuri rumah warga dan perkebunan milik warga sekitar. Dari kejauhan sudah terlihat Gunung Rinjani berdiri dengan kokohnya, menyambut kami. Namun setelah ini, kami harus menghadapi padang savana landai yang terbentang luas, entah sejauh dan selama apa kami akan diterpa sinar matahari.

Trek Awal dari Desa Sembalun Didominasi Oleh Padang Savana

Bang Eday bilang, bahwa jalur yang kami lewati ini merupakan jalur memotong yang lumayan dapat menghemat waktu dua jam. Banyak tenaga yang terkuras diawal trekking. Bagaimana tidak, kami memulai pendakian disaat matahari tengah bersinar dengan semangatnya, membakar kulit dan membuat kering tenggorokan. Beberapa kali kami istirahat untuk sekedar membasahi tenggorokan dengan air yang kami bawa dan sedikit mengembalikan tenaga yang hampir terkuras habis. Hampir dua jam kami berjalan menyusuri savana, sedikit demi sedikit jalan yang kami lalui mulai menanjak panjang, dan tak jarang kami mendapati turunan yang entah pantas disebut “bonus” atau tidak. Karena setelah turunan, kami pasti menghadapi trek yang menanjak panjang lagi. Selain banyak energi yang terkuras, perut kami pun teriak minta diisi makanan. Beruntung kami semua sepakat untuk mencari tempat isitirahat yang teduh dan memasak beberapa mie instan yang kami bawa. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan.

Tak tau mana yang dinamakan 7 bukit penyesalan, karena setiap ku tanya kepada Bang Eday “Mana 7 bukit penyesalannya?” beliau tak pernah mau memberi tau. Aku pun terus berjalan mengikuti jalur yang sudah ada. Ya jalur yang menanjak panjang, lalu turun, nanti menanjak panjang lagi, lalu turun lagi. Entah sudah berapa kali kami dihadapkan dengan jalur yang naik turun seperti itu. Namun dalam hati bergumam “pasti ini yang dibilang 7 bukit penyesalan”. Biasanya penyesalan ada diakhir, tapi kalau di Rinjani penyesalan itu ada diawal.

Sampai di Pos 1 kami bergabung dengan pendaki-pendaki dari Universitas Mataram. Mereka memberi kami “bantal” yaitu kue khas mataram yang dibungkus dengan daun kelapa berisi ketan dan pisang (seperti lepet), rasanya enak dan lumayan mengisi perut. Tak lama istirahat di Pos 1, kami melanjutkan perjalanan lagi. Masih dihadapkan trek yang naik turun bukit akhirnya kami tiba di Pos 2 Tengengean, di pos ini terdapat jembatan dan pepohonan disekitarnya yang lumayan rindang, sangat cocok dijadikan tempat istirahat.

Pos 2 Tengengean
Namun lagi-lagi kami pun tak lama beristirahat di pos, karena tujuan kami adalah sampai di Plawangan Sembalun malam itu juga. Masih berjalan menanjak dan menuruni bukit, kami memutuskan beristirahat karena maghrib tiba. Kami beristirahat diatas perbukitan dan entah kami berada dibukit penyesalan keberapa, yang kami tau hanya pemandangan matahari sore itu sangat indah. Puncak Anjani berdiri kokoh didepan kami, pemandangan lampu dari kota Mataram pun terlihat jelas.

View Gunung Rinjani dari Bukit Penyesalan

 Beristirahat Sejenak di Bukit Penyesalan

 Senja Sore Itu

Aryo, Aku, Bang Sandy, Mba Dian, dan Bang Hendrik

Sekitar pukul 18:30wita kami melanjutkan perjalanan, jalur berbukitpun belum habis dari pandangan kami. Dua jam kami berjalan akhirnya kami tiba di Pos 3, banyak tenda berdiri disana karena kebanyakan pendaki memang memilih berkemah di sekitar Pos 3 untuk kemudian memulihkan tenaga menuju Plawangan Sembalun esok harinya. Namun malam itu kami hanya sekedar beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

“Di Rinjani pos itu dibuat kalo ga dekat sumber air ya karena setelah pos itu jalurnya kejam, makanya pendaki disuruh istirahat dulu” seru Bang Eday.

Tak lama beristirahat kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun. Benar saja, jalur yang kami lalui memang tidak seperti jalur awal yang menanjak namun masih ada turunan. Setelah Pos 3 ini jalur terus menanjak, bahkan hampir tidak ada bonus.

Beberapa menit berjalan, rasa kantuk mulai menyerangku, kepala mulai terasa pusing dan pandangan agak sedikit kabur. Tak jarang aku meminta “break” karena badan terasa lemas, dan disela istirahat pasti kusempatkan untuk tertidur. Terlalu lama beristirahat, rasa dingin mulai menyerang kami segera melanjutkan perjalanan dan aku berusaha menghalau rasa kantukku. Namun rasa kantuk begitu kuat hinggap dimataku, kepala semakin pusing, dan badan semakin lemas.

Aku lihat jam ditangan, saat itu pukul 22:30wita perjalanan masih sangat jauh. Kalau saja ini masih disebut Bukit Penyesalan, kami akan mengganti nama bukit ini menjadi Bukit Depresi. Karena Plawangan Sembalun seperti sudah terlihat, namun kami tidak sampai-sampai. Malam itu kondisiku dan Bang Hendrik drop, tenaga kami terkuras dari awal trek savana ditambah panas teriknya matahari. Bang Eday memutuskan untuk membuka perbekalan, Mba Dian dengan sigap segera memasak dan membuat teh untuk menghangatkan tubuh kami. Saat itu aku langsung tertidur.

Aku dibangunkan karena makanan sudah siap, ternyata Mba Dian memasak nasi, telor dadar, dan mie goreng. Makanan malam itu terasa sangat nikmat ditengah udara yang semakin tidak bersahabat. Semakin malam, angin semakin kencang menerpa kami. Sebetulnya persediaan air kami sudah menipis karena itu kami harus sampai di Plawangan Sembalun untuk mendapatkan air kembali. Padahal masing-masing dari kami telah membawa perbekalan air sebanyak 3lt, namun karena cuaca yang sangat panas kami sudah banyak menghabiskan air. Di Rinjani sumber air di setiap pos sangat melimpah, namun kami tidak mengisi botol minum kami kembali karena target kami sampai ke Plawangan Sembalun. Beruntung Bang Eday membawa waterpack berisi 2lt air sumbermani (diambil waktu ke Semeru bulan September 2012) dan dapat kami pergunakan untuk keperluan memasak.

Waktu semakin beranjak malam, pukul 00:30wita. Tak mungkin juga kami terus melanjutkan perjalanan, tengah malam diterpa angin kencang dan beberapa dari kami dengan kondisi drop. Akhirnya Bang Eday, Bang Sandy, dan Aryo mencari tanah yang agak datar untuk segera mendirikan tenda. Setengah jam akhirnya tenda berdiri dan kami bergegas masuk untuk beristirahat.


06 Mei 2013
Selamat pagi Bukit Penyesalan!
Matahari Pagi Mengintip dari Balik Pepohonan di Bukit Penyesalan

Pukul 07:00wita kami terbangun dan segera packing ulang. Tak ada sarapan yang kami buat pagi itu, mengingat persediaan air yang sangat menipis. Pukul 09:00wita kami melanjutkan perjalanan ke Plawangan Sembalun. Aku membawa perbekalan minum hanya sekitar 300ml lagi, begitupun Mba Dian dan Bang Hendrik.

Namanya Bukit Penyesalan, hampir tak ada lahan datar yang kami temui. Sekali bertemu lahan datar, langsung kami manfaatkan untuk beristirahat. Walaupun masih pagi, matahari disana sangat terik. Yang artinya, energi kami akan lebih banyak terkuras lagi. Memulai perjalanan dari Desa Sembalun memang didominasi oleh padang savana dan perbukitan, tak banyak pohon kami temui di sepanjang jalur.

View Desa Sembalun dari Bukit Penyesalan

Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki asing dengan guide dan beberapa porternya. Hampir semua bertanya dan bilang “Camp dimana mbak? Sudah dua hari ini cuaca diatas badai, semalam saja hanya ada 1 bule yang berhasil kepuncak karena cuaca berkabut dan angin kencang.”
Deg! “Jika cuaca masih badai, apa perjuanganku jauh-jauh kesini akan terasa sia-sia?” Mencoba menyingkirkan pikiran itu dari otakku, yang aku harus lalui saat ini adalah jalur kejam menuju Plawangan Sembalun.

Bang Eday sudah jauh didepanku, sepanjang jalan aku hanya bersama Mba Dian dan Bang Hendrik karena Bang Sandy dan Aryo juga berada jauh dibelakang kami. Sempat terpikir ke Bang Sandy dan Aryo karena mereka sama sekali tidak membawa persediaan air, sedangkan jalur masih kejam dan sinar matahari sangat menyengat. Yang pasti bikin tenggorokan kering.

Plawangan Sembalun sudah didepan mata, tapi entah mengapa kaki ini tak juga berpijak disana. Masih berusaha terus berjalan dan berusaha tak menghiraukan jalur. Akhirnya pukul 11:00wita aku, Mba Dian, dan Bang Hendrik tiba di Plawangan Sembalun dan sudah ada Bang Eday karena beliau sudah tiba jauh lebih awal dari kami.

Tidak ada lagi air yang tersisa akhirnya aku membuka perbekalan jelly yang sengaja ku bawa, lumayan menyegarkan tenggorokan kami. Agak lama beristirahat tiba-tiba Bang Eday bilang “ayo, udah istirahatnya kita lanjut jalan lagi. Buka tenda, ambil air  terus masak.” Aku shock karena kupikir kami sudah sampai, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah jam kami naik turun bukit lagi dan akhirnya sampai di camp area Plawangan Sembalun. Sebenarnya Danau Segara Anak dapat terlihat dari Plawangan Sembalun, namun saat kami tiba cuaca memang sedang tak bersahabat, kabut tebal sehingga membatasi pandangan kami.

Plawangan Sembalun

Satu jam kami sudah berada di camp area, Aryo baru tiba dan membawa kabar kalau Bang Sandy kehabisan air dan menunggu di dekat plang Plawangan Sembalun, Bang Eday segera menyusul membawa air untuk Bang Sandy. Setelah tim lengkap, kami langsung memasak perbekalan untuk makan siang kami dan mendirikan tenda.

Di Plawangan Sembalun kami menemukan banyak sekali kawanan kera namun kami harus waspada karena kawanan kera ini jahil suka mencuri makanan para pendaki. Bang Eday berpesan “nanti kalo kita summit, jangan ada makanan diluar tenda. Kalo bisa, resleting tendanya diikat soalnya monyet bisa buka tenda”.

Setelah makan siang aku, Aryo, Bang Sandy, dan Bang Eday pergi ke sumber air Plawangan Sembalun untuk bersih-bersih dan mengisi kembali perbekalan air untuk kami melanjutkan perjalanan menuju puncak nanti malam.

Sumber Air di Plawangan Sembalun

Sore itu, kabut masih terus menyelimuti Plawangan Sembalun. Kami berharap kalau cuaca nanti malam bersahabat untuk kami, tak seperti cuaca dua hari sebelumnya yang dilanda badai.
Malam menjelang, Mba Dian dan Bang Hendrik masih tetap setia mempersiapkan makan malam untuk kami, sedang aku beristirahat dan memilih untuk tidur didalam tenda karena kondisi ku yang kurang fit, perutku kembung dan aku masuk angin. Sepertinya tak lama tertidur aku dibangunkan untuk dipaksa makan agar masuk anginku tak bertambah parah.

Malam itu kami harus tidur lebih awal untuk persiapan pendakian ke Puncak Anjani, sekitar pukul 20:00wita kami masuk tenda bergegas tidur, aku setenda dengan Aryo dan Bang Eday. Namun aku tidak bisa tidur, perutku sangat tidak bersahabat ditambah lagi aku kebelet pipis. Aku terus berusaha untuk tertidur tapi hanya beberapa menit terlelap aku terbangun lagi karena perutku sakit, begitu terus sampai pukul 00:30wita aku minta diantar Bang Eday keluar tenda karena aku ingin pipis.

Pemandangan yang menakjubkan saat aku melihat keluar tenda, langit malam itu sangat cerah bertabur bintang. Walaupun malam, Danau Segara Anak pun terlihat jelas dari tempat kami camp. Sepertinya doa kami meminta agar cuaca cerah terkabul. Tak lama diluar tenda, aku bergegas masuk kedalam tenda berusaha untuk tertidur lagi.

Pukul 01:30wita kami terbangun untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Puncak Anjani, sebelumnya kami membuat minuman untuk menghangatkan tubuh kami dan sebagai perbekalan selama perjalanan menuju puncak. Jaket, sepatu, sarung tangan, penutup kepala, headlamp, dan beberapa logistik serta yang terpenting doa, niat, dan tekad telah siap mendampingi sepanjang perjalanan kami. Pukul 02:30wita disaat orang-orang di kota tengah terlelap, kami disini memulai perjalanan. Bismillahirahmanirrahim.