Senin, 27 Mei 2013

My Adventures (Part II): Rinjani for Ladang Ilalang


05 Mei 2013
Pukul 06:00wita aku telah terbangun, bergegas mandi dan packing ulang sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Sembalun sambil menunggu Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang mengabarkan kepada kami kalau mereka sudah tiba di Pelabuhan Lembar dan telah dijemput oleh Pak Nasir (Supir Elf yang menjemput aku dan Aryo dari BIL ke penginapan). Sekitar pukul 07:00wita mereka telah tiba dipenginapan kami, untuk sarapan dan sekedar beristirahat sebentar.

Sekitar satu jam mereka beristirahat, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pasar Aikmal. Tiga jam waktu yang kami tempuh untuk tiba di Pasar Aikmal, dan kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan mobil Pick-up menuju Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani di  Desa Sembalun. Kami tak hanya berenam, karena kami bareng dengan penduduk sekitar yang ingin pergi keacara pernikahan saudaranya di Desa Sembalun. Mereka bilang “Kami disini persaudaraan tak boleh putus, kalau ada acara seperti ini kami harus datang”. Banyak berbagi cerita dengan penduduk sekitar, kami diberi perbekalan sekedar cemilan yang biasa mereka sebut “kacang sembunyi”

 Perjalanan Kami Menuju Desa Sembalun

 Kacang Sembunyi

Sepanjang perjalanan, kami sudah disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Perbukitan disekitar Gunung Rinjani berdiri kokoh dan terkadang terlihat Puncak Sang Dewi. Sebelum mengurus perizinan, kami sengaja mampir di pasar dekat Desa Sembalun untuk melengkapi kebutuhan logistik kami selama digunung. Seperti membeli sayuran, cabai, bawang, dan telur.

Hampir dua jam perjalanan akhirnya kami tiba di Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani dan segera mengurus perizinan. Masing-masing dari kami diberi tanda masuk (Rinjani Trek Entry Ticket), untuk  digantung di carrier kami. Turis lokal dikenakan tarif sebesar Rp. 10.000,- sedangkan untuk turis mancanegara sebesar Rp. 150.000,-. Setelah mengurus perizinan, kami share logistik yang telah kami beli di Pasar Sembalun dan packing ulang.

Rinjani Entry Ticket 
Repack Sesaat Sebelum Memulai Perjalanan

Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00wita kami segera memulai perjalanan dengan diawali doa, tak lupa kami meminta doa kepada keluarga dan sahabat-sahabat ilalang agar perjalanan kami lancar.

Trek awal kami menyusuri rumah warga dan perkebunan milik warga sekitar. Dari kejauhan sudah terlihat Gunung Rinjani berdiri dengan kokohnya, menyambut kami. Namun setelah ini, kami harus menghadapi padang savana landai yang terbentang luas, entah sejauh dan selama apa kami akan diterpa sinar matahari.

Trek Awal dari Desa Sembalun Didominasi Oleh Padang Savana

Bang Eday bilang, bahwa jalur yang kami lewati ini merupakan jalur memotong yang lumayan dapat menghemat waktu dua jam. Banyak tenaga yang terkuras diawal trekking. Bagaimana tidak, kami memulai pendakian disaat matahari tengah bersinar dengan semangatnya, membakar kulit dan membuat kering tenggorokan. Beberapa kali kami istirahat untuk sekedar membasahi tenggorokan dengan air yang kami bawa dan sedikit mengembalikan tenaga yang hampir terkuras habis. Hampir dua jam kami berjalan menyusuri savana, sedikit demi sedikit jalan yang kami lalui mulai menanjak panjang, dan tak jarang kami mendapati turunan yang entah pantas disebut “bonus” atau tidak. Karena setelah turunan, kami pasti menghadapi trek yang menanjak panjang lagi. Selain banyak energi yang terkuras, perut kami pun teriak minta diisi makanan. Beruntung kami semua sepakat untuk mencari tempat isitirahat yang teduh dan memasak beberapa mie instan yang kami bawa. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan.

Tak tau mana yang dinamakan 7 bukit penyesalan, karena setiap ku tanya kepada Bang Eday “Mana 7 bukit penyesalannya?” beliau tak pernah mau memberi tau. Aku pun terus berjalan mengikuti jalur yang sudah ada. Ya jalur yang menanjak panjang, lalu turun, nanti menanjak panjang lagi, lalu turun lagi. Entah sudah berapa kali kami dihadapkan dengan jalur yang naik turun seperti itu. Namun dalam hati bergumam “pasti ini yang dibilang 7 bukit penyesalan”. Biasanya penyesalan ada diakhir, tapi kalau di Rinjani penyesalan itu ada diawal.

Sampai di Pos 1 kami bergabung dengan pendaki-pendaki dari Universitas Mataram. Mereka memberi kami “bantal” yaitu kue khas mataram yang dibungkus dengan daun kelapa berisi ketan dan pisang (seperti lepet), rasanya enak dan lumayan mengisi perut. Tak lama istirahat di Pos 1, kami melanjutkan perjalanan lagi. Masih dihadapkan trek yang naik turun bukit akhirnya kami tiba di Pos 2 Tengengean, di pos ini terdapat jembatan dan pepohonan disekitarnya yang lumayan rindang, sangat cocok dijadikan tempat istirahat.

Pos 2 Tengengean
Namun lagi-lagi kami pun tak lama beristirahat di pos, karena tujuan kami adalah sampai di Plawangan Sembalun malam itu juga. Masih berjalan menanjak dan menuruni bukit, kami memutuskan beristirahat karena maghrib tiba. Kami beristirahat diatas perbukitan dan entah kami berada dibukit penyesalan keberapa, yang kami tau hanya pemandangan matahari sore itu sangat indah. Puncak Anjani berdiri kokoh didepan kami, pemandangan lampu dari kota Mataram pun terlihat jelas.

View Gunung Rinjani dari Bukit Penyesalan

 Beristirahat Sejenak di Bukit Penyesalan

 Senja Sore Itu

Aryo, Aku, Bang Sandy, Mba Dian, dan Bang Hendrik

Sekitar pukul 18:30wita kami melanjutkan perjalanan, jalur berbukitpun belum habis dari pandangan kami. Dua jam kami berjalan akhirnya kami tiba di Pos 3, banyak tenda berdiri disana karena kebanyakan pendaki memang memilih berkemah di sekitar Pos 3 untuk kemudian memulihkan tenaga menuju Plawangan Sembalun esok harinya. Namun malam itu kami hanya sekedar beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

“Di Rinjani pos itu dibuat kalo ga dekat sumber air ya karena setelah pos itu jalurnya kejam, makanya pendaki disuruh istirahat dulu” seru Bang Eday.

Tak lama beristirahat kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun. Benar saja, jalur yang kami lalui memang tidak seperti jalur awal yang menanjak namun masih ada turunan. Setelah Pos 3 ini jalur terus menanjak, bahkan hampir tidak ada bonus.

Beberapa menit berjalan, rasa kantuk mulai menyerangku, kepala mulai terasa pusing dan pandangan agak sedikit kabur. Tak jarang aku meminta “break” karena badan terasa lemas, dan disela istirahat pasti kusempatkan untuk tertidur. Terlalu lama beristirahat, rasa dingin mulai menyerang kami segera melanjutkan perjalanan dan aku berusaha menghalau rasa kantukku. Namun rasa kantuk begitu kuat hinggap dimataku, kepala semakin pusing, dan badan semakin lemas.

Aku lihat jam ditangan, saat itu pukul 22:30wita perjalanan masih sangat jauh. Kalau saja ini masih disebut Bukit Penyesalan, kami akan mengganti nama bukit ini menjadi Bukit Depresi. Karena Plawangan Sembalun seperti sudah terlihat, namun kami tidak sampai-sampai. Malam itu kondisiku dan Bang Hendrik drop, tenaga kami terkuras dari awal trek savana ditambah panas teriknya matahari. Bang Eday memutuskan untuk membuka perbekalan, Mba Dian dengan sigap segera memasak dan membuat teh untuk menghangatkan tubuh kami. Saat itu aku langsung tertidur.

Aku dibangunkan karena makanan sudah siap, ternyata Mba Dian memasak nasi, telor dadar, dan mie goreng. Makanan malam itu terasa sangat nikmat ditengah udara yang semakin tidak bersahabat. Semakin malam, angin semakin kencang menerpa kami. Sebetulnya persediaan air kami sudah menipis karena itu kami harus sampai di Plawangan Sembalun untuk mendapatkan air kembali. Padahal masing-masing dari kami telah membawa perbekalan air sebanyak 3lt, namun karena cuaca yang sangat panas kami sudah banyak menghabiskan air. Di Rinjani sumber air di setiap pos sangat melimpah, namun kami tidak mengisi botol minum kami kembali karena target kami sampai ke Plawangan Sembalun. Beruntung Bang Eday membawa waterpack berisi 2lt air sumbermani (diambil waktu ke Semeru bulan September 2012) dan dapat kami pergunakan untuk keperluan memasak.

Waktu semakin beranjak malam, pukul 00:30wita. Tak mungkin juga kami terus melanjutkan perjalanan, tengah malam diterpa angin kencang dan beberapa dari kami dengan kondisi drop. Akhirnya Bang Eday, Bang Sandy, dan Aryo mencari tanah yang agak datar untuk segera mendirikan tenda. Setengah jam akhirnya tenda berdiri dan kami bergegas masuk untuk beristirahat.


06 Mei 2013
Selamat pagi Bukit Penyesalan!
Matahari Pagi Mengintip dari Balik Pepohonan di Bukit Penyesalan

Pukul 07:00wita kami terbangun dan segera packing ulang. Tak ada sarapan yang kami buat pagi itu, mengingat persediaan air yang sangat menipis. Pukul 09:00wita kami melanjutkan perjalanan ke Plawangan Sembalun. Aku membawa perbekalan minum hanya sekitar 300ml lagi, begitupun Mba Dian dan Bang Hendrik.

Namanya Bukit Penyesalan, hampir tak ada lahan datar yang kami temui. Sekali bertemu lahan datar, langsung kami manfaatkan untuk beristirahat. Walaupun masih pagi, matahari disana sangat terik. Yang artinya, energi kami akan lebih banyak terkuras lagi. Memulai perjalanan dari Desa Sembalun memang didominasi oleh padang savana dan perbukitan, tak banyak pohon kami temui di sepanjang jalur.

View Desa Sembalun dari Bukit Penyesalan

Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki asing dengan guide dan beberapa porternya. Hampir semua bertanya dan bilang “Camp dimana mbak? Sudah dua hari ini cuaca diatas badai, semalam saja hanya ada 1 bule yang berhasil kepuncak karena cuaca berkabut dan angin kencang.”
Deg! “Jika cuaca masih badai, apa perjuanganku jauh-jauh kesini akan terasa sia-sia?” Mencoba menyingkirkan pikiran itu dari otakku, yang aku harus lalui saat ini adalah jalur kejam menuju Plawangan Sembalun.

Bang Eday sudah jauh didepanku, sepanjang jalan aku hanya bersama Mba Dian dan Bang Hendrik karena Bang Sandy dan Aryo juga berada jauh dibelakang kami. Sempat terpikir ke Bang Sandy dan Aryo karena mereka sama sekali tidak membawa persediaan air, sedangkan jalur masih kejam dan sinar matahari sangat menyengat. Yang pasti bikin tenggorokan kering.

Plawangan Sembalun sudah didepan mata, tapi entah mengapa kaki ini tak juga berpijak disana. Masih berusaha terus berjalan dan berusaha tak menghiraukan jalur. Akhirnya pukul 11:00wita aku, Mba Dian, dan Bang Hendrik tiba di Plawangan Sembalun dan sudah ada Bang Eday karena beliau sudah tiba jauh lebih awal dari kami.

Tidak ada lagi air yang tersisa akhirnya aku membuka perbekalan jelly yang sengaja ku bawa, lumayan menyegarkan tenggorokan kami. Agak lama beristirahat tiba-tiba Bang Eday bilang “ayo, udah istirahatnya kita lanjut jalan lagi. Buka tenda, ambil air  terus masak.” Aku shock karena kupikir kami sudah sampai, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah jam kami naik turun bukit lagi dan akhirnya sampai di camp area Plawangan Sembalun. Sebenarnya Danau Segara Anak dapat terlihat dari Plawangan Sembalun, namun saat kami tiba cuaca memang sedang tak bersahabat, kabut tebal sehingga membatasi pandangan kami.

Plawangan Sembalun

Satu jam kami sudah berada di camp area, Aryo baru tiba dan membawa kabar kalau Bang Sandy kehabisan air dan menunggu di dekat plang Plawangan Sembalun, Bang Eday segera menyusul membawa air untuk Bang Sandy. Setelah tim lengkap, kami langsung memasak perbekalan untuk makan siang kami dan mendirikan tenda.

Di Plawangan Sembalun kami menemukan banyak sekali kawanan kera namun kami harus waspada karena kawanan kera ini jahil suka mencuri makanan para pendaki. Bang Eday berpesan “nanti kalo kita summit, jangan ada makanan diluar tenda. Kalo bisa, resleting tendanya diikat soalnya monyet bisa buka tenda”.

Setelah makan siang aku, Aryo, Bang Sandy, dan Bang Eday pergi ke sumber air Plawangan Sembalun untuk bersih-bersih dan mengisi kembali perbekalan air untuk kami melanjutkan perjalanan menuju puncak nanti malam.

Sumber Air di Plawangan Sembalun

Sore itu, kabut masih terus menyelimuti Plawangan Sembalun. Kami berharap kalau cuaca nanti malam bersahabat untuk kami, tak seperti cuaca dua hari sebelumnya yang dilanda badai.
Malam menjelang, Mba Dian dan Bang Hendrik masih tetap setia mempersiapkan makan malam untuk kami, sedang aku beristirahat dan memilih untuk tidur didalam tenda karena kondisi ku yang kurang fit, perutku kembung dan aku masuk angin. Sepertinya tak lama tertidur aku dibangunkan untuk dipaksa makan agar masuk anginku tak bertambah parah.

Malam itu kami harus tidur lebih awal untuk persiapan pendakian ke Puncak Anjani, sekitar pukul 20:00wita kami masuk tenda bergegas tidur, aku setenda dengan Aryo dan Bang Eday. Namun aku tidak bisa tidur, perutku sangat tidak bersahabat ditambah lagi aku kebelet pipis. Aku terus berusaha untuk tertidur tapi hanya beberapa menit terlelap aku terbangun lagi karena perutku sakit, begitu terus sampai pukul 00:30wita aku minta diantar Bang Eday keluar tenda karena aku ingin pipis.

Pemandangan yang menakjubkan saat aku melihat keluar tenda, langit malam itu sangat cerah bertabur bintang. Walaupun malam, Danau Segara Anak pun terlihat jelas dari tempat kami camp. Sepertinya doa kami meminta agar cuaca cerah terkabul. Tak lama diluar tenda, aku bergegas masuk kedalam tenda berusaha untuk tertidur lagi.

Pukul 01:30wita kami terbangun untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Puncak Anjani, sebelumnya kami membuat minuman untuk menghangatkan tubuh kami dan sebagai perbekalan selama perjalanan menuju puncak. Jaket, sepatu, sarung tangan, penutup kepala, headlamp, dan beberapa logistik serta yang terpenting doa, niat, dan tekad telah siap mendampingi sepanjang perjalanan kami. Pukul 02:30wita disaat orang-orang di kota tengah terlelap, kami disini memulai perjalanan. Bismillahirahmanirrahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar