Senin, 27 Mei 2013

My Adventures (Part III): Rinjani Dihati, Dekat Dimata Jauh Dikaki


Diawal perjalanan Bang Eday berpesan kalau kami harus berjalan beriringan dan bersama, diusahakan tidak terpisah jauh. Formasi kami saat berjalan Bang Eday, Aryo, Aku, Mba Dian, Bang Hendrik, dan Bang Sandy. Permulaan trek menuju puncak tak jauh dari tempat camp kami, masih didominasi trek tanah dan sedikit agak berpasir. Sekitar setengah jam berjalan, kami dihadapkan trek berpasir yang tak jarang membuat kami menepi untuk beristirahat. Sisa sakit perutku semalam ternyata belum juga hilang, diawal trek aku sudah muntah-muntah, rasa mual karena masuk angin sangat mengganggu dari awal perjalananku.

Perjalanan kami disaksikan bulan dan ribuan bintang yang bertaburan, malam itu cuaca memang sangat cerah. Tak jarang kami menyaksikan bintang jatuh dan aku selalu spontan memohon sebuah permintaan. Berjam-jam kami berjalan, berkali-kali kami harus istirahat karena berkali-kali juga aku muntah-muntah. Akhirnya formasi terpecah menjadi dua: Aryo, Bang Hendrik, dan Mba Dian sudah jauh didepan kami. Sedangkan aku ditemani Bang Eday dan Bang Sandy. 

Beristirahat Sejenak di Tengah Trek Berpasir

Langit mulai membiaskan warna merah ke orange, matahari akan muncul menyapa namun perjalanan kami baru setengahnya menuju puncak. Sunrise tak dapat kami nikmati dipuncak, namun saat itu Bang Eday menegarkan “Ga usah kejar sunrise dipuncak, di balik batu punggungan itu juga bagus, ayo cepet kita sampai situ”. Seketika itu kakiku terasa bersemangat untuk sampai dipunggungan gunung. Sunrise pagi itu memang sangat indah walaupun kami belum sampai dipuncak.

View Sunrise dari Punggungan Gunung Rinjani

Bang Eday mengajak aku dan Bang Sandy untuk melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin terang dan jalur pun semakin terlihat yang efeknya bisa membuat ciut nyali karena perjalanan kami pun masih panjang. Sepertinya tanjakan di Bukit Penyesalan sebelum Plawangan Sembalun belum ada apa-apanya dibanding dengan tanjakan yang akan kami lewati. Trek yang kami lalui menuju ke puncak didominasi oleh pasir, kerikil, dan tidak ada vegetasi dengan kemiringan punggungan sekitar 60o. Trek berpasir memang menyulitkan langkah, tak jarang pasir yang kami pijak longsor dan kami merosot turun.

Matahari mulai bersinar cerah, puncak sudah terlihat didepan mata namun jalur yang kulewati terasa sangat berat. Ditambah kondisiku yang kurang fit, sudah sembilan kali aku muntah selama diperjalanan, badan terasa sangat lemas. Kulihat keatas, rasanya malas untuk melanjutkan perjalanan. Namun Bang Eday dan Bang Sandy sangat sabar menemani dan tak henti memberikan semangat untukku.

Saat Menahan Rasa Sakit di Perutku

Sakit perutku memang sangat mengganggu, setiap kumat aku harus duduk tersungkur merasakan sakitnya. Sampai tiba saat dimana hampir habis semangatku untuk melanjutkan perjalanan, aku menangis tersedu-sedu. Bang Eday dan Bang Sandy terlihat kebingungan sambil tertawa melihat ku menangis.

Bang Eday Saat Memberikan Semangat Kepadaku

Gue ga mau naik gunung lagi bang” teriakku sambil menangis


Bisa Ty, Tya pasti bisa. Atau mau turun lagi? Gue kan udah pernah kesini Ty, lo mau turun apa lanjutin keatas? Kalo mau turun, gue anterin. Biar Bang Golok keatas sendiri” ucap Bang Eday kepadaku.

Ditanya seperti itu membuatku semakin keras menangis, “kalo gue turun lagi, sama begonya kaya pas di semeru!” jawabku.

Tuh Ty liat! Hendrik, Dian, Aryo udah sampe di puncak. Ayo sebentar lagi, Tya pasti bisa! Gue yakin kita bisa muncak semua. Udah ga apa-apa, yang sabar aja sakitnya jangan dirasa.” Seru Bang Eday dan Bang Sandy memberi semangat kepadaku.

Tya mau keatas ga?” terdengar teriakan dari arah puncak, entah siapa yang berteriak.

Seketika aku menoleh melihat ke sumber suara, lalu menunduk lagi. Aku merasa seperti tak berdaya, aku kesal karena semangat dan mentalku terseok-seok. Kupasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta, aku berdoa memohon agar semangatku bangkit dan tak mengecewakan teman-temanku. Memohon agar sepanjang perjalanan kami dilindungi. Didalam doa, terlintas bayangan Mama saat itu, karena aku memang sedang merindukannya. Pikirku, perjalananku sudah jauh sampai disini, aku tak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah beliau berikan kepadaku terlebih teman-teman seperjalananku tak henti memberikanku semangat. Walau ku tau, sebenarnya mereka lelah dan kesal menghadapi ulahku. Saat itu juga semangatku bangkit, aku yakin aku bisa!

Seketika itu juga aku berdiri dan berteriak “IYA GUE KEATAS, TUNGGU DISITU! Ayo bang, kita lanjut jalan. Semangat!

Terlihat raut wajah senang dari Bang Eday dan Bang Sandy mendengar apa yang aku ucapkan. “gitu dooong, ini baru Tya” seru Bang Eday sambil menepuk bahuku.

 Tya sama Bang Eday ya, gue tahan mereka (Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik) supaya ga turun dulu.” Ucap Bang Sandy, karena memang Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik sudah berada lama di puncak. Namun ternyata Bang Hendrik dan Mba Dian memutuskan untuk turun terlebih dahulu, Aryo tetap menunggu di puncak.

Melanjutkan perjalanan dengan langkah 10:1  dan lama-lama 15:1 serta sisa-sisa semangat yang ada walaupun terasa berat, tapi aku yakin akan menjejakkan sepatu di 3726mdpl. Berpapasan dengan Bang Hendrik dan Mba Dian yang akan turun, merekapun turut menyemangatiku.

Sakit perut masih menghampiriku disisa perjalananku, itu artinya aku harus duduk dan menahan sakitnya. Hari semakin siang, panas terik matahari membakar kulit dan membakar semangatku kembali untuk sampai di 3726mdpl. Dengan perjuangan dan semangat ekstra akhirnya aku dan Bang Eday tiba diujung trek menuju puncak dimana ada beberapa tebing yang lumayan teduh, disana sudah ada Aryo, Bang Sandy, dan beberapa pendaki lain yang akan turun.

Aku, Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy melanjutkan sedikit lagi sisa perjalanan ke puncak. Dan sekitar pukul 09:30wita akhirnya kami tiba diketinggian 3726mdpl. Sudah ada beberapa pendaki yang lebih dulu tiba disana, seperti disambut aku diberi ucapan selamat oleh mereka. “Saya liat tadi dijalur mbak nangis-nangis ya? Teman-teman mbak itu hebat, sabar. Tapi mbak yang lebih hebat, ga menyia-nyiakan kepercayaan teman-teman mbak, kalo mbak bisa sampai disini. Silahkan sujud syukur dulu”. Sangat terharu aku mendengar apa yang Bapak pendaki itu ucapkan kepadaku. Sujud syukurku karena kami tiba dipuncak gunung api tertinggi kedua di Indonesia. Rasa haru dan bahagia tak terkira yang aku rasakan, akhirnya perjuanganku dan teman-temanku tak sia-sia. Aku peluk mereka satu persatu, tak lupa kuucapkan terima kasih.

 Finally, 3726mdpl! (Bang Sandy, Bang Eday, Aku, dan Aryo)

 For Ladang Ilalang

 We are The Campion, My Friends!

 Just for My Mom

 Happy Birthday Papa

Ku pandangi sekeliling dari ketinggian 3726mdpl, terlihat semua sisi pulau lombok, Gunung Agung dan Batur di Bali, dan Tambora di Sumbawa. Subhanallah Rinjani begitu indah! Kumpulan awan terhias indah diatas perbukitan yang mengelilingi Danau Segara Anak. Begitu indah ciptaan-Mu Tuhan! Kau berikan kami cuaca yang sangat bersahabat setelah selama dua hari diterpa badai, Kau berikan aku teman-teman yang sabar, Kau berikan kami kebahagian.

“Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan..” maka, nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan”.

View Danau Segara Anak dari Ketinggian 3726mdpl

Sekitar satu jam kami berada dipuncak, menikmati keindahan dari Sang Maha Pencipta. Keindahan yang tak ternilai harganya. Rasanya masih ingin lama disini, namun kami harus segera turun karena hari sudah sangat siang terlebih kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau Segara Anak hari itu juga.

Perjalanan Turun

Perjalanan turun pasti lebih mudah jika telah menemukan irama antara sepatu dan pijakan di jalur berpasir, tinggal meluncur namun harus tetap berhati-hati karena jalur di Rinjani tidak terlalu lebar dengan jurang dikanan kirinya. Walaupun terlihat mudah, tetap saja aku terpeleset dan terjatuh namun aku masih bisa bangkit dan tau arah jalan pulang. Trek berdebu lumayan mengganggu pandangan dan pernafasan. Aryo dan Bang Sandy sudah jauh didepanku dan Bang Eday, aku melangkah turun perlahan karena takut rem disepatuku blong.

Terik matahari siang ini sangat menyengat membakar kulit serta mengeringkan tenggorokan, sakit perutku pun masih setia menganggu disepanjang perjalanan turun. Akupun masih harus menahan rasa sakit perutku, tak jarang aku dan Bang Eday berhenti sebentar sambil beristirahat.

Tertidur disela-sela istirahatku

Jalur Rinjani siang itu sunyi tidak seramai pagi, kadang hanya suara hembusan angin yang terdengar. Bagaimana tidak ternyata aku dan Bang Eday turun paling terakhir, dibelakang kami sudah tidak ada rombongan pendaki lain. Sekitar pukul 14:30wita kami tiba di camp area Plawangan Sembalun, sudah ada Aryo, Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang sedang packing. Aku dan Bang Eday pun segera berkemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar