Diawal perjalanan Bang Eday berpesan
kalau kami harus berjalan beriringan dan bersama, diusahakan tidak terpisah
jauh. Formasi kami saat berjalan Bang Eday, Aryo, Aku, Mba Dian, Bang Hendrik,
dan Bang Sandy. Permulaan trek menuju puncak tak jauh dari tempat camp kami,
masih didominasi trek tanah dan sedikit agak berpasir. Sekitar setengah jam
berjalan, kami dihadapkan trek berpasir yang tak jarang membuat kami menepi
untuk beristirahat. Sisa sakit perutku semalam ternyata belum juga hilang,
diawal trek aku sudah muntah-muntah, rasa mual karena masuk angin sangat
mengganggu dari awal perjalananku.
Perjalanan kami disaksikan bulan dan
ribuan bintang yang bertaburan, malam itu cuaca memang sangat cerah. Tak jarang
kami menyaksikan bintang jatuh dan aku selalu spontan memohon sebuah
permintaan. Berjam-jam kami berjalan, berkali-kali kami harus istirahat karena
berkali-kali juga aku muntah-muntah. Akhirnya formasi terpecah menjadi dua:
Aryo, Bang Hendrik, dan Mba Dian sudah jauh didepan kami. Sedangkan aku ditemani
Bang Eday dan Bang Sandy.
Beristirahat Sejenak di Tengah Trek
Berpasir
Langit mulai membiaskan warna merah ke
orange, matahari akan muncul menyapa namun perjalanan kami baru setengahnya
menuju puncak. Sunrise tak dapat kami nikmati dipuncak, namun saat itu Bang
Eday menegarkan “Ga usah kejar sunrise dipuncak, di balik batu punggungan itu
juga bagus, ayo cepet kita sampai situ”. Seketika itu kakiku terasa bersemangat
untuk sampai dipunggungan gunung. Sunrise pagi itu memang sangat indah walaupun
kami belum sampai dipuncak.
View Sunrise dari Punggungan Gunung
Rinjani
Bang Eday mengajak aku dan Bang Sandy
untuk melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin terang dan jalur pun semakin
terlihat yang efeknya bisa membuat ciut nyali karena perjalanan kami pun masih
panjang. Sepertinya tanjakan di Bukit Penyesalan sebelum Plawangan Sembalun
belum ada apa-apanya dibanding dengan tanjakan yang akan kami lewati. Trek yang
kami lalui menuju ke puncak didominasi oleh pasir, kerikil, dan tidak ada
vegetasi dengan kemiringan punggungan sekitar 60o. Trek berpasir
memang menyulitkan langkah, tak jarang pasir yang kami pijak longsor dan kami
merosot turun.
Matahari mulai bersinar cerah, puncak
sudah terlihat didepan mata namun jalur yang kulewati terasa sangat berat.
Ditambah kondisiku yang kurang fit, sudah sembilan kali aku muntah selama
diperjalanan, badan terasa sangat lemas. Kulihat keatas, rasanya malas untuk
melanjutkan perjalanan. Namun Bang Eday dan Bang Sandy sangat sabar menemani
dan tak henti memberikan semangat untukku.
Saat Menahan Rasa Sakit di Perutku
Sakit perutku memang sangat mengganggu,
setiap kumat aku harus duduk tersungkur merasakan sakitnya. Sampai tiba saat
dimana hampir habis semangatku untuk melanjutkan perjalanan, aku menangis
tersedu-sedu. Bang Eday dan Bang Sandy terlihat kebingungan sambil tertawa
melihat ku menangis.
Bang Eday Saat Memberikan Semangat
Kepadaku
“Gue ga mau naik gunung lagi bang”
teriakku sambil menangis
“Bisa Ty, Tya pasti bisa. Atau mau
turun lagi? Gue kan udah pernah kesini Ty, lo mau turun apa lanjutin keatas? Kalo
mau turun, gue anterin. Biar Bang Golok keatas sendiri” ucap Bang Eday
kepadaku.
Ditanya seperti itu membuatku semakin
keras menangis, “kalo gue turun lagi, sama begonya kaya pas di semeru!”
jawabku.
“Tuh Ty liat! Hendrik, Dian, Aryo udah
sampe di puncak. Ayo sebentar lagi, Tya pasti bisa! Gue yakin kita bisa muncak
semua. Udah ga apa-apa, yang sabar aja sakitnya jangan dirasa.” Seru Bang Eday
dan Bang Sandy memberi semangat kepadaku.
“Tya mau keatas ga?” terdengar teriakan
dari arah puncak, entah siapa yang berteriak.
Seketika aku menoleh melihat ke sumber
suara, lalu menunduk lagi. Aku merasa seperti tak berdaya, aku kesal karena
semangat dan mentalku terseok-seok. Kupasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta,
aku berdoa memohon agar semangatku bangkit dan tak mengecewakan teman-temanku.
Memohon agar sepanjang perjalanan kami dilindungi. Didalam doa, terlintas
bayangan Mama saat itu, karena aku memang sedang merindukannya. Pikirku,
perjalananku sudah jauh sampai disini, aku tak mau menyia-nyiakan kepercayaan
yang sudah beliau berikan kepadaku terlebih teman-teman seperjalananku tak
henti memberikanku semangat. Walau ku tau, sebenarnya mereka lelah dan kesal
menghadapi ulahku. Saat itu juga semangatku bangkit, aku yakin aku bisa!
Seketika itu juga aku berdiri dan
berteriak “IYA GUE KEATAS, TUNGGU DISITU! Ayo bang, kita lanjut jalan.
Semangat!”
Terlihat raut wajah senang dari Bang
Eday dan Bang Sandy mendengar apa yang aku ucapkan. “gitu dooong, ini baru Tya”
seru Bang Eday sambil menepuk bahuku.
“Tya sama Bang Eday ya, gue tahan mereka
(Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik) supaya ga turun dulu.” Ucap Bang Sandy,
karena memang Aryo, Mba Dian, dan Bang Hendrik sudah berada lama di puncak.
Namun ternyata Bang Hendrik dan Mba Dian memutuskan untuk turun terlebih
dahulu, Aryo tetap menunggu di puncak.
Melanjutkan perjalanan dengan langkah
10:1 dan lama-lama 15:1 serta sisa-sisa
semangat yang ada walaupun terasa berat, tapi aku yakin akan menjejakkan sepatu
di 3726mdpl. Berpapasan dengan Bang Hendrik dan Mba Dian yang akan turun,
merekapun turut menyemangatiku.
Sakit perut masih menghampiriku disisa
perjalananku, itu artinya aku harus duduk dan menahan sakitnya. Hari semakin
siang, panas terik matahari membakar kulit dan membakar semangatku kembali
untuk sampai di 3726mdpl. Dengan perjuangan dan semangat ekstra akhirnya aku
dan Bang Eday tiba diujung trek menuju puncak dimana ada beberapa tebing yang
lumayan teduh, disana sudah ada Aryo, Bang Sandy, dan beberapa pendaki lain
yang akan turun.
Aku, Aryo, Bang Eday, dan Bang Sandy
melanjutkan sedikit lagi sisa perjalanan ke puncak. Dan sekitar pukul 09:30wita
akhirnya kami tiba diketinggian 3726mdpl. Sudah ada beberapa pendaki yang lebih
dulu tiba disana, seperti disambut aku diberi ucapan selamat oleh mereka. “Saya
liat tadi dijalur mbak nangis-nangis ya? Teman-teman mbak itu hebat, sabar.
Tapi mbak yang lebih hebat, ga menyia-nyiakan kepercayaan teman-teman mbak,
kalo mbak bisa sampai disini. Silahkan sujud syukur dulu”. Sangat terharu aku
mendengar apa yang Bapak pendaki itu ucapkan kepadaku. Sujud syukurku karena
kami tiba dipuncak gunung api tertinggi kedua di Indonesia. Rasa haru dan
bahagia tak terkira yang aku rasakan, akhirnya perjuanganku dan teman-temanku
tak sia-sia. Aku peluk mereka satu persatu, tak lupa kuucapkan terima kasih.
Finally, 3726mdpl! (Bang Sandy,
Bang Eday, Aku, dan Aryo)
For Ladang Ilalang
We are The Campion, My Friends!
Just for My Mom
Happy Birthday Papa
Ku pandangi sekeliling dari ketinggian
3726mdpl, terlihat semua sisi pulau lombok, Gunung Agung dan Batur di Bali, dan
Tambora di Sumbawa. Subhanallah Rinjani begitu indah! Kumpulan awan terhias
indah diatas perbukitan yang mengelilingi Danau Segara Anak. Begitu indah
ciptaan-Mu Tuhan! Kau berikan kami cuaca yang sangat bersahabat setelah selama
dua hari diterpa badai, Kau berikan aku teman-teman yang sabar, Kau berikan
kami kebahagian.
“Fabiayyi
alaa irobbikuma tukadzibaan..” maka, nikmat Rabb kamu
yang manakah yang kamu dustakan”.
View Danau Segara Anak dari
Ketinggian 3726mdpl
Sekitar satu jam kami berada dipuncak,
menikmati keindahan dari Sang Maha Pencipta. Keindahan yang tak ternilai
harganya. Rasanya masih ingin lama disini, namun kami harus segera turun karena
hari sudah sangat siang terlebih kami akan melanjutkan perjalanan ke Danau
Segara Anak hari itu juga.
Perjalanan Turun
Perjalanan turun pasti lebih mudah jika
telah menemukan irama antara sepatu dan pijakan di jalur berpasir, tinggal
meluncur namun harus tetap berhati-hati karena jalur di Rinjani tidak terlalu
lebar dengan jurang dikanan kirinya. Walaupun terlihat mudah, tetap saja aku
terpeleset dan terjatuh namun aku masih bisa bangkit dan tau arah jalan pulang.
Trek berdebu lumayan mengganggu pandangan dan pernafasan. Aryo dan Bang Sandy
sudah jauh didepanku dan Bang Eday, aku melangkah turun perlahan karena takut
rem disepatuku blong.
Terik matahari siang ini sangat
menyengat membakar kulit serta mengeringkan tenggorokan, sakit perutku pun
masih setia menganggu disepanjang perjalanan turun. Akupun masih harus menahan
rasa sakit perutku, tak jarang aku dan Bang Eday berhenti sebentar sambil
beristirahat.
Tertidur disela-sela istirahatku
Jalur Rinjani siang itu sunyi tidak
seramai pagi, kadang hanya suara hembusan angin yang terdengar. Bagaimana tidak
ternyata aku dan Bang Eday turun paling terakhir, dibelakang kami sudah tidak
ada rombongan pendaki lain. Sekitar pukul 14:30wita kami tiba di camp area
Plawangan Sembalun, sudah ada Aryo, Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang
sedang packing. Aku dan Bang Eday pun segera berkemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar