05 Mei 2013
Pukul 06:00wita aku telah terbangun,
bergegas mandi dan packing ulang sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa
Sembalun sambil menunggu Bang Sandy, Bang Hendrik, dan Mba Dian yang
mengabarkan kepada kami kalau mereka sudah tiba di Pelabuhan Lembar dan telah dijemput
oleh Pak Nasir (Supir Elf yang menjemput aku dan Aryo dari BIL ke penginapan).
Sekitar pukul 07:00wita mereka telah tiba dipenginapan kami, untuk sarapan dan
sekedar beristirahat sebentar.
Sekitar satu jam mereka beristirahat,
kami pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pasar Aikmal. Tiga jam waktu
yang kami tempuh untuk tiba di Pasar Aikmal, dan kami masih harus melanjutkan
perjalanan dengan mobil Pick-up menuju Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani
di Desa Sembalun. Kami tak hanya
berenam, karena kami bareng dengan penduduk sekitar yang ingin pergi keacara
pernikahan saudaranya di Desa Sembalun. Mereka bilang “Kami disini persaudaraan
tak boleh putus, kalau ada acara seperti ini kami harus datang”. Banyak berbagi
cerita dengan penduduk sekitar, kami diberi perbekalan sekedar cemilan yang
biasa mereka sebut “kacang sembunyi”
Perjalanan Kami Menuju Desa Sembalun
Kacang Sembunyi
Sepanjang perjalanan, kami sudah
disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Perbukitan disekitar Gunung Rinjani
berdiri kokoh dan terkadang terlihat Puncak Sang Dewi. Sebelum mengurus
perizinan, kami sengaja mampir di pasar dekat Desa Sembalun untuk melengkapi
kebutuhan logistik kami selama digunung. Seperti membeli sayuran, cabai, bawang,
dan telur.
Hampir dua jam perjalanan akhirnya kami
tiba di Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani dan segera mengurus perizinan.
Masing-masing dari kami diberi tanda masuk (Rinjani Trek Entry Ticket),
untuk digantung di carrier kami. Turis
lokal dikenakan tarif sebesar Rp. 10.000,- sedangkan untuk turis mancanegara
sebesar Rp. 150.000,-. Setelah mengurus perizinan, kami share logistik yang
telah kami beli di Pasar Sembalun dan packing ulang.
Repack Sesaat Sebelum Memulai
Perjalanan
Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00wita
kami segera memulai perjalanan dengan diawali doa, tak lupa kami meminta doa
kepada keluarga dan sahabat-sahabat ilalang agar perjalanan kami lancar.
Trek awal kami menyusuri rumah warga
dan perkebunan milik warga sekitar. Dari kejauhan sudah terlihat Gunung Rinjani
berdiri dengan kokohnya, menyambut kami. Namun setelah ini, kami harus
menghadapi padang savana landai yang terbentang luas, entah sejauh dan selama
apa kami akan diterpa sinar matahari.
Trek Awal dari Desa Sembalun
Didominasi Oleh Padang Savana
Bang Eday bilang, bahwa jalur yang kami
lewati ini merupakan jalur memotong yang lumayan dapat menghemat waktu dua jam.
Banyak tenaga yang terkuras diawal trekking. Bagaimana tidak, kami memulai
pendakian disaat matahari tengah bersinar dengan semangatnya, membakar kulit
dan membuat kering tenggorokan. Beberapa kali kami istirahat untuk sekedar
membasahi tenggorokan dengan air yang kami bawa dan sedikit mengembalikan
tenaga yang hampir terkuras habis. Hampir dua jam kami berjalan menyusuri
savana, sedikit demi sedikit jalan yang kami lalui mulai menanjak panjang, dan
tak jarang kami mendapati turunan yang entah pantas disebut “bonus” atau tidak.
Karena setelah turunan, kami pasti menghadapi trek yang menanjak panjang lagi.
Selain banyak energi yang terkuras, perut kami pun teriak minta diisi makanan.
Beruntung kami semua sepakat untuk mencari tempat isitirahat yang teduh dan
memasak beberapa mie instan yang kami bawa. Selesai makan, kami melanjutkan
perjalanan.
Tak tau mana yang dinamakan 7 bukit
penyesalan, karena setiap ku tanya kepada Bang Eday “Mana 7 bukit penyesalannya?”
beliau tak pernah mau memberi tau. Aku pun terus berjalan mengikuti jalur yang
sudah ada. Ya jalur yang menanjak panjang, lalu turun, nanti menanjak panjang
lagi, lalu turun lagi. Entah sudah berapa kali kami dihadapkan dengan jalur
yang naik turun seperti itu. Namun dalam hati bergumam “pasti ini yang dibilang
7 bukit penyesalan”. Biasanya penyesalan ada diakhir, tapi kalau di Rinjani
penyesalan itu ada diawal.
Sampai di Pos 1 kami bergabung dengan
pendaki-pendaki dari Universitas Mataram. Mereka memberi kami “bantal” yaitu
kue khas mataram yang dibungkus dengan daun kelapa berisi ketan dan pisang
(seperti lepet), rasanya enak dan lumayan mengisi perut. Tak lama istirahat di
Pos 1, kami melanjutkan perjalanan lagi. Masih dihadapkan trek yang naik turun
bukit akhirnya kami tiba di Pos 2 Tengengean, di pos ini terdapat jembatan dan
pepohonan disekitarnya yang lumayan rindang, sangat cocok dijadikan tempat
istirahat.
Pos 2 Tengengean
Namun lagi-lagi kami pun tak lama
beristirahat di pos, karena tujuan kami adalah sampai di Plawangan Sembalun
malam itu juga. Masih berjalan menanjak dan menuruni bukit, kami memutuskan
beristirahat karena maghrib tiba. Kami beristirahat diatas perbukitan dan entah
kami berada dibukit penyesalan keberapa, yang kami tau hanya pemandangan
matahari sore itu sangat indah. Puncak Anjani berdiri kokoh didepan kami,
pemandangan lampu dari kota Mataram pun terlihat jelas.
View Gunung Rinjani dari Bukit
Penyesalan
Beristirahat Sejenak di Bukit
Penyesalan
Senja Sore Itu
Aryo, Aku, Bang Sandy, Mba Dian,
dan Bang Hendrik
Sekitar pukul 18:30wita kami
melanjutkan perjalanan, jalur berbukitpun belum habis dari pandangan kami. Dua
jam kami berjalan akhirnya kami tiba di Pos 3, banyak tenda berdiri disana
karena kebanyakan pendaki memang memilih berkemah di sekitar Pos 3 untuk
kemudian memulihkan tenaga menuju Plawangan Sembalun esok harinya. Namun malam
itu kami hanya sekedar beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.
“Di
Rinjani pos itu dibuat kalo ga dekat sumber air ya karena setelah pos itu
jalurnya kejam, makanya pendaki disuruh istirahat dulu” seru Bang Eday.
Tak lama beristirahat kami melanjutkan
perjalanan menuju Plawangan Sembalun. Benar saja, jalur yang kami lalui memang
tidak seperti jalur awal yang menanjak namun masih ada turunan. Setelah Pos 3
ini jalur terus menanjak, bahkan hampir tidak ada bonus.
Beberapa menit berjalan, rasa kantuk
mulai menyerangku, kepala mulai terasa pusing dan pandangan agak sedikit kabur.
Tak jarang aku meminta “break” karena badan terasa lemas, dan disela istirahat
pasti kusempatkan untuk tertidur. Terlalu lama beristirahat, rasa dingin mulai
menyerang kami segera melanjutkan perjalanan dan aku berusaha menghalau rasa
kantukku. Namun rasa kantuk begitu kuat hinggap dimataku, kepala semakin
pusing, dan badan semakin lemas.
Aku lihat jam ditangan, saat itu pukul
22:30wita perjalanan masih sangat jauh. Kalau saja ini masih disebut Bukit
Penyesalan, kami akan mengganti nama bukit ini menjadi Bukit Depresi. Karena Plawangan
Sembalun seperti sudah terlihat, namun kami tidak sampai-sampai. Malam itu
kondisiku dan Bang Hendrik drop, tenaga kami terkuras dari awal trek savana
ditambah panas teriknya matahari. Bang Eday memutuskan untuk membuka
perbekalan, Mba Dian dengan sigap segera memasak dan membuat teh untuk
menghangatkan tubuh kami. Saat itu aku langsung tertidur.
Aku dibangunkan karena makanan sudah
siap, ternyata Mba Dian memasak nasi, telor dadar, dan mie goreng. Makanan
malam itu terasa sangat nikmat ditengah udara yang semakin tidak bersahabat.
Semakin malam, angin semakin kencang menerpa kami. Sebetulnya persediaan air
kami sudah menipis karena itu kami harus sampai di Plawangan Sembalun untuk
mendapatkan air kembali. Padahal masing-masing dari kami telah membawa
perbekalan air sebanyak 3lt, namun karena cuaca yang sangat panas kami sudah
banyak menghabiskan air. Di Rinjani sumber air di setiap pos sangat melimpah,
namun kami tidak mengisi botol minum kami kembali karena target kami sampai ke
Plawangan Sembalun. Beruntung Bang Eday membawa waterpack berisi 2lt air
sumbermani (diambil waktu ke Semeru bulan September 2012) dan dapat kami
pergunakan untuk keperluan memasak.
Waktu semakin beranjak malam, pukul
00:30wita. Tak mungkin juga kami terus melanjutkan perjalanan, tengah malam
diterpa angin kencang dan beberapa dari kami dengan kondisi drop. Akhirnya Bang
Eday, Bang Sandy, dan Aryo mencari tanah yang agak datar untuk segera
mendirikan tenda. Setengah jam akhirnya tenda berdiri dan kami bergegas masuk
untuk beristirahat.
06 Mei 2013
Selamat pagi Bukit Penyesalan!
Matahari Pagi Mengintip dari Balik
Pepohonan di Bukit Penyesalan
Pukul 07:00wita kami terbangun dan
segera packing ulang. Tak ada sarapan yang kami buat pagi itu, mengingat persediaan
air yang sangat menipis. Pukul 09:00wita kami melanjutkan perjalanan ke
Plawangan Sembalun. Aku membawa perbekalan minum hanya sekitar 300ml lagi,
begitupun Mba Dian dan Bang Hendrik.
Namanya Bukit Penyesalan, hampir tak
ada lahan datar yang kami temui. Sekali bertemu lahan datar, langsung kami
manfaatkan untuk beristirahat. Walaupun masih pagi, matahari disana sangat
terik. Yang artinya, energi kami akan lebih banyak terkuras lagi. Memulai
perjalanan dari Desa Sembalun memang didominasi oleh padang savana dan
perbukitan, tak banyak pohon kami temui di sepanjang jalur.
View Desa Sembalun dari Bukit
Penyesalan
Beberapa kali kami berpapasan dengan
pendaki asing dengan guide dan beberapa porternya. Hampir semua bertanya dan
bilang “Camp dimana mbak? Sudah dua hari ini cuaca diatas badai, semalam saja
hanya ada 1 bule yang berhasil kepuncak karena cuaca berkabut dan angin
kencang.”
Deg! “Jika cuaca masih badai, apa
perjuanganku jauh-jauh kesini akan terasa sia-sia?” Mencoba menyingkirkan
pikiran itu dari otakku, yang aku harus lalui saat ini adalah jalur kejam
menuju Plawangan Sembalun.
Bang Eday sudah jauh didepanku,
sepanjang jalan aku hanya bersama Mba Dian dan Bang Hendrik karena Bang Sandy
dan Aryo juga berada jauh dibelakang kami. Sempat terpikir ke Bang Sandy dan
Aryo karena mereka sama sekali tidak membawa persediaan air, sedangkan jalur
masih kejam dan sinar matahari sangat menyengat. Yang pasti bikin tenggorokan
kering.
Plawangan Sembalun sudah didepan mata,
tapi entah mengapa kaki ini tak juga berpijak disana. Masih berusaha terus
berjalan dan berusaha tak menghiraukan jalur. Akhirnya pukul 11:00wita aku, Mba
Dian, dan Bang Hendrik tiba di Plawangan Sembalun dan sudah ada Bang Eday
karena beliau sudah tiba jauh lebih awal dari kami.
Tidak ada lagi air yang tersisa
akhirnya aku membuka perbekalan jelly yang sengaja ku bawa, lumayan menyegarkan
tenggorokan kami. Agak lama beristirahat tiba-tiba Bang Eday bilang “ayo, udah
istirahatnya kita lanjut jalan lagi. Buka tenda, ambil air terus masak.” Aku shock karena kupikir kami
sudah sampai, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah jam kami
naik turun bukit lagi dan akhirnya sampai di camp area Plawangan Sembalun.
Sebenarnya Danau Segara Anak dapat terlihat dari Plawangan Sembalun, namun saat
kami tiba cuaca memang sedang tak bersahabat, kabut tebal sehingga membatasi
pandangan kami.
Plawangan Sembalun
Satu jam kami sudah berada di camp
area, Aryo baru tiba dan membawa kabar kalau Bang Sandy kehabisan air dan
menunggu di dekat plang Plawangan Sembalun, Bang Eday segera menyusul membawa
air untuk Bang Sandy. Setelah tim lengkap, kami langsung memasak perbekalan
untuk makan siang kami dan mendirikan tenda.
Di Plawangan Sembalun kami menemukan
banyak sekali kawanan kera namun kami harus waspada karena kawanan kera ini
jahil suka mencuri makanan para pendaki. Bang Eday berpesan “nanti kalo kita
summit, jangan ada makanan diluar tenda. Kalo bisa, resleting tendanya diikat
soalnya monyet bisa buka tenda”.
Setelah makan siang aku, Aryo, Bang
Sandy, dan Bang Eday pergi ke sumber air Plawangan Sembalun untuk bersih-bersih
dan mengisi kembali perbekalan air untuk kami melanjutkan perjalanan menuju
puncak nanti malam.
Sumber Air di Plawangan Sembalun
Sore itu, kabut masih terus menyelimuti
Plawangan Sembalun. Kami berharap kalau cuaca nanti malam bersahabat untuk
kami, tak seperti cuaca dua hari sebelumnya yang dilanda badai.
Malam menjelang, Mba Dian dan Bang
Hendrik masih tetap setia mempersiapkan makan malam untuk kami, sedang aku
beristirahat dan memilih untuk tidur didalam tenda karena kondisi ku yang
kurang fit, perutku kembung dan aku masuk angin. Sepertinya tak lama tertidur
aku dibangunkan untuk dipaksa makan agar masuk anginku tak bertambah parah.
Malam itu kami harus tidur lebih awal
untuk persiapan pendakian ke Puncak Anjani, sekitar pukul 20:00wita kami masuk
tenda bergegas tidur, aku setenda dengan Aryo dan Bang Eday. Namun aku tidak bisa tidur, perutku
sangat tidak bersahabat ditambah lagi aku kebelet pipis. Aku terus berusaha
untuk tertidur tapi hanya beberapa menit terlelap aku terbangun lagi karena
perutku sakit, begitu terus sampai pukul 00:30wita aku minta diantar Bang Eday
keluar tenda karena aku ingin pipis.
Pemandangan yang menakjubkan saat aku
melihat keluar tenda, langit malam itu sangat cerah bertabur bintang. Walaupun
malam, Danau Segara Anak pun terlihat jelas dari tempat kami camp. Sepertinya
doa kami meminta agar cuaca cerah terkabul. Tak lama diluar tenda, aku bergegas
masuk kedalam tenda berusaha untuk tertidur lagi.
Pukul 01:30wita kami terbangun untuk
bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Puncak Anjani, sebelumnya kami membuat
minuman untuk menghangatkan tubuh kami dan sebagai perbekalan selama perjalanan
menuju puncak. Jaket, sepatu, sarung tangan, penutup kepala, headlamp, dan
beberapa logistik serta yang terpenting doa, niat, dan tekad telah siap
mendampingi sepanjang perjalanan kami. Pukul 02:30wita disaat orang-orang di kota tengah terlelap, kami disini memulai perjalanan. Bismillahirahmanirrahim.